Sabtu, 21 November 2009

Rindu kronik (2)

Tidak ada tempat yang paling gelap
Selain ruang hati yang terkunci
Tidak ada kutukan paling sadis
Selain perpisahan
Dan tidak ada racun yang paling membunuh
Kecuali, racun yang kita ciptakan sendiri, di kepala
Serta sakit parah yang menahun
Kecuali Rindu kronik

Rindu kronik (1)

Apa yang bisa aku katakan saat aku tidak lagi mampu menerjemahkan bahasamu
Apa lagi lalu yang bisa aku bahasakan ketika aku tidak sanggup mengartikan anggukanmu, dan setiap sudut matamu tidak ada cerita lagi yang harus kita urai, aku berduka kehilangan jiwamu
Mungkin saat aku berpaling, ketika aku tidak disana, menunggu bodoh, atau menanti bisu
Maka kau ada, menjadi titik-titik yang aku sebut bibit kamuflase dalam etalase paling menggiurkan “Cinta”, meski aku curiga, kata itu seperti bumbu dalam sup kari, setelah sehari kita cicipi ia jadi hilang rasa
Akh….atau jangan-jangan ini hanyalah persangkaan, karena diammu ternyata telah menjarah semua kata yang ingin kusampaikan hingga ia ting…….kosong
Jadi…………………..
apakah aku kini ?
Puisi ini tanpa hasrat, tanpa tendensi apa-apa untuk mengadakan apa-apa
Mungkin disaat ini aku bahkan tidak bisa menjelaskan bahasaku padamu karena sudut mataku telah di bingkai kutukan menjadi mata tanpa mata, ia tak untuk melihat dirimu dari dekat, ia tidak untuk melihat diriku yang jauh, ia hanya untuk menangisi kematian hati
Tetapi dengan sederhana aku ingin mengucapkan judul puisi ini tanpa bermaksud bunuh diri
Karena aku lebih mencintai mungkin yang kau sebut palsu “harga diri”

Seperti Telenovela

Seperti Telenovela

Ia telah kehilangan hati yang ia titipkan padaku ketika memutuskan untuk pergi
Mungkin ini pertanda, ia tidak akan kembali
Baginya
Untuk apa lagi, menempuh bermil-mil luka jika yang dijumpainya padaku hanya genangan darah, cintanya telah kubantai tadi malam,
Episode terakhir
Tayangan perdana
Romansa diam kita
Akh menggelikan, membuatku ingin muntah

Fatamorgana

Ada yang janggal di sudut matamu, sayang
Eyeshadow itu terlalu terang warnanya
Ia tak seharusnya jingga, lebih baik ia sedikit kuning
Lalu mungkin mesti ada eyeliner agar mata sipitmu itu tidak seperti mata penjahat kena bogem,
Lalu mascara, mengeras membuatnya terlihat bagaikan sumur tua, tempat para jompo mandi duduk
Ada yang ganjil menyerbu cerebellumku sayang, satu inci di atas mataku
Kau, jelas laki-laki yang dulu kutatap berlama-lama

Sepiku itu dan secangkir Kopi

Ada pahit tersangkut di tenggorokanku subuh ini
Suara jangkrik diluar besahutan
Lalu desir angin
Dan komputerku yang meraung-raung
Kuditemaninya, menjelang pagi, saat matahari naik
Riuh belum berakhir
Mabuk aku dalam pesta merayakan kesepian kita

Minggu, 08 November 2009

mellow mode on

Aku tidak pandai bercerita, atau mengarang-ngarang agar kau tertawa
Aku juga terbata-bata mengucapakan kata sayang atau sejenisnya
tetapi aku bisa menuliskan seribu puisi
dan mampu menunjukkan dengan hati arah rindu yang berpendar terpancar di mataku
Apakah itu elum cukup menyamai kepalsuan yang mungkin saja mengalir saat kata-kata tidak ada bedanya dengan igauan, hampir pasti aku sulit menemukan kejujurannya

Sabtu, 31 Oktober 2009

Asimetri d soil

dan kilauan itu memuncak
saat kulihat segaris dari sini, dari tempat aku berpijak
tanah yang dangkal
berbatu, bergelombang tak seimbang
tetapi itulah hati
yang sulit aku cerna

hanya guratan tipis yang tak sejajar......

Rabu, 28 Oktober 2009

Asimetri d diafran

Bayangmu lalu memantul di dinding transparan, saat butir-butir air perlahan menguap, dan aku melihatnya sekilas, mata itu membuat tanda tanya.
Disini aku menggurat sebuah garis biru di ruang yang kusebut hati.