Sabtu, 21 November 2009

Rindu kronik (1)

Apa yang bisa aku katakan saat aku tidak lagi mampu menerjemahkan bahasamu
Apa lagi lalu yang bisa aku bahasakan ketika aku tidak sanggup mengartikan anggukanmu, dan setiap sudut matamu tidak ada cerita lagi yang harus kita urai, aku berduka kehilangan jiwamu
Mungkin saat aku berpaling, ketika aku tidak disana, menunggu bodoh, atau menanti bisu
Maka kau ada, menjadi titik-titik yang aku sebut bibit kamuflase dalam etalase paling menggiurkan “Cinta”, meski aku curiga, kata itu seperti bumbu dalam sup kari, setelah sehari kita cicipi ia jadi hilang rasa
Akh….atau jangan-jangan ini hanyalah persangkaan, karena diammu ternyata telah menjarah semua kata yang ingin kusampaikan hingga ia ting…….kosong
Jadi…………………..
apakah aku kini ?
Puisi ini tanpa hasrat, tanpa tendensi apa-apa untuk mengadakan apa-apa
Mungkin disaat ini aku bahkan tidak bisa menjelaskan bahasaku padamu karena sudut mataku telah di bingkai kutukan menjadi mata tanpa mata, ia tak untuk melihat dirimu dari dekat, ia tidak untuk melihat diriku yang jauh, ia hanya untuk menangisi kematian hati
Tetapi dengan sederhana aku ingin mengucapkan judul puisi ini tanpa bermaksud bunuh diri
Karena aku lebih mencintai mungkin yang kau sebut palsu “harga diri”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar